Sinar mentari masih telalu malu-malu untuk menampakkan wujudnya, hanya nampak siluet jingga yang mencoba menyatu dengan langit gelap sisa malam tadi. Perahu para nelayan sudah banyak yang merapat selepas melaut semalam suntuk. Jaring-jaring diturunkan, tong-tong besar yang penuh ikan diturunkan perlahan. Pesisir pantai mulai penuh dengan perahu yang berjajar rapi. Desir angin pantai berhembus dengan damai. Angin pesisir pantai tak henti-hentinya merayu daun pohon kelapa yang menjuntai memesona. Suara riuh ombak laut yang mencoba menggapai pesisir menjadi alunan merdu dipagi hari.
Asap masakan para ibu terlihat mengepul diatas
setiap rumah apiung itu. Menandakan aktifitas pagi telah dimulai. Jemuran hari
ini sudah bertengger manis di seutas tali, sesekali berkelebatan ditiup angin
pantai. Anak-anak berseragam sudah duduk manis diatas perahu yang akan membawa
mereka tiba di sekolah apung. Para nelayan yang semalam suntuk berlayar kini
sudah terlentang diatas kasur dengan berisik. Mendengkur.
Diantara rumah-rumah kumuh milik para nelayan miskin
terdapat rumah megah nan mewah. Rumah dengan dinding semen yang kokoh,
lantainya yang dilapisi kramik, atapnya tampak kokoh. Tak perlu khawatir
terbawa angin pantai yang ganas. Barang-barang dalam rumah itu bisa dipastikan tak terdapat di rumah-rumah sekitarnya. Barang
mewah. Rumah itu milik seseorang pria asli tempat ini, pria berusia sekitar 46
tahun, seorang wirausaha toko emas yang memiliki banyak cabang dibanyak tempat.
Jaenal Abidin. Biasa dipanggil oleh warga sekitar pak tua.
Pagi itu kapal mewah milik pak tua menepi di depan
rumah apung mewah miliknya. wajahnya yang khas itu nampak sumringah, tangannya
menenteng banyak kantong belanjaan besar bertuliskan sebuah merk-merk ternama.
Ia melangkah lebar masuk kedalam rumahnya.
“
Ijaah...kesini kau”teriak pria tua itu’
Tak
berapa lama pembantu yang biasa disebut Ijah itu tergopoh-gopoh menuruni anak
tangga dengan membawa kemoceng di tangannya.
“iya
tuan. Ada yang bisa saya bantu?” tanya ijah dengan sopan
Sekarang beresin barang bawaanku setelah itu
siapkan makanan, cacing-cacing di perutku sudah demo.” ujarnya sembari menepuk
perutnya. Wajahnya masih nampak sumringah.
Ijah
hanya mengangguk dan langsung mengerjakan titah majikannya. Dalam kepalanya ia
bertanya-tanya apa yang menyebabkan majikannya itu tampak sumringah sekali.
“Tuan...makananya
sudah saya siapkan” ujar Ijah setelah mengetuk sopan pintu kamar tuannya. Tak
lama pintu kamar tersebut terbuka menampakkan pria tua dengan wajah sumringah
yang masih setia menghias wajah yang berwibawa itu. Langkahnya terhenti dan ia
berbalik menghadap ijah, membuat wanita itu kaget bukan main.
“heh...bagaimana
penampilanku sekarang?” tanya pria tua itu dengan percaya diri. Ijah yang tak
tau harus berkata apa akhirnya hanya mengangkat kedua ibu jarinya dengan senyum
bingung. Acungan jempol itu membuat pria tua itu semakin percaya diri, ia
melangkah gagah menuju meja makan. Sekali lagi ia berbalik dan memegang
jaketnya sembari tersenyum.
“keren
bukan” rukas pria itu lalu kembali meneruskan langkahnya.
Oalah....jaketnya pak tua baru
tooh.
Batin ijah. Wanita itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menahan
tawa.
Selepas
makan pria tua itu melangkah keluar rumah. “aku
akan berjalan menyusuri pantai. Agar orang-orang terkagum-kagum denganku”dirinya
membatin. Langkahnya membawanya menyusuri pantai.
“pak
tua ” panggil seorang pemuda sembari melambai-lambaikan tangannya. Pria tua
yang melihat itu langsung tersenyum lalu berjalan menghampiri pemuda itu.
“hei
Haekal” sapanya kepada pemuda yang tengah duduk disebuah saung. Pemuda itu
menatap pria tua itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Melihatnya
terheran-heran.
“ini
perasaan saya aja apa emang ada yang beda ya dari pak tua.” tanyanya dengan
nada bingung. Pria itu tertawa puas ada yang menyadarinya.
“bagaimana
aku terlihat keren bukan dengan jaket ini?” tanyanya sembari menaik-turunkan
kedua alisnya. Pemuda dihadapannya terdiam beberapa saat lalu ikut tertawa.
“darimana
kau mendapatkannya? Jaket ini keren pak tua cocok untuk anak muda” ujarnya
diselingi tawa.
Wajah
sumringah pak tua langsung sirnar detik itu juga diganti dengan tatapan
membunuh.
“hey...maksudmu
aku tak pantas menggunakan jaket ini? Maksudmu aku terlalu tua untuk mengenakan
jaket ini?” semprot pak tua membuat Haekal yang menyadari ucapannya langsung
menyengir, tangannya sigap menggamit tangan pak tua.
“aku
hanya bercanda pak tua. Kau terlihat sangat keren dengan jaket seperti itu,
terlihat lebih muda, makin gagah saja kau pak tua” tukas Haekal mencoba meredam
amarah pak tua.
“ayo
sekarang kau temani aku berkeliling pantai, aku ingin menunjukkan pada semua
orang jaket baru yang kubeli di pulau sebrang” tukas pak tua bersemangat.
Haekal hanya menggelengkan kepala melihat perlakuan pria disebelahnya itu tapi
ia tetap meng-iyakan ajakan pak tua.
“hei
pak tua apa jaket itu mahal?” tanya Haekal pada pak tua.
“tentu
saja jaket ini mahal belinya pun di pulau sebrang.”ujar pak tua berbangga diri.
Pemuda di sampingnya itu sudah hafal betul tabiat pria disampingnya.
“lain
kali kau harus membelikannya juga untukku pak tua” tukas Haekal setengah
memohon. Pak tua hanya tertawa dan seketika tawanya lenyap.
“beli
sendiri” ujar pak tua ketus. Haekal hanya tertawa melihat reaksi pak tua.
Mentari
sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Membuat langit terlihat jingga,
pemandangan indah kala kau dipantai. Pak tua berjalan riang menuju rumah mewah
miliknya. ia teringat kalakuannya tadi siang yang sengaja berkeliling kampung.
Banyak pemuda pesisir pantai yang memuji jaket yang dikenakan pak tua, membuat
senyum di wajah pria itu semakin lebar.
Malam
harinya Ijah menemukan pak tua tengah mencuci jaket yang ia kenakan. Ijah
segara menawarkan diri untuk menggantikan pak tua mencuci.
“haduuh...tuan,
biar saya saja yang mencucikannya. Tuan istirahat saja sudah malam.” Tawar
ijah.
“haah
tidak tidak biar aku saja tidak apa. Kau saja yang pergi sana”ujar pak tua
sembari mengibaskan tangannya di udara. Ijah akhirnya menurut toh ia hanya
bawahan.
Mentari
masih malu-malu muncul di ufuk barat. Semburatnya jingganya terlihat bersisian
dengan langit gelap sisa tadi malam. Rumah mewah itu sudah riuh oleh bisingnya
suara panik pak tua. Burung-burung pun belum mengeluarkan kicauan indahnya. Ia
terlihat panik menyusuri setiap sudut rumah mewah miliknya. semua orang di
rumah itu dijejali pertanyaan dari pak tua tapi semua hanya sanggup menggelengkan
kepalanya. Termasuk Ijah yang baru melangkah masuk sehabis dari pasar langsung
disuguhkan dengan pertanyaan dari pak tua.
“heh
Ijah kau lihat jaket ku tidak” tanya pak tua terburu-buru yang ditatap bingung
oleh Ijah.
“oalah...jaket
yang tadi malem pak tua cuci” ujar Ijah balik bertanya.
“iya
betul yang tadi malem saya cuci, lihat gak” ujar pak tua kembali bertanya.
Hanya dibalas gelengan oleh Ijah. Pak tua menghembuskan nafas gusar, sejenak
berfikir.
“rumah
ini pasti kemalingan” pak tua berseru yakin. Para pelayan dirumah itu saling
tatap. Bingung.
“maling
mana yang hanya masuk untuk mencuri jaket, tuan?” tukas salah seorang pelayan.
“heh
harga jaket itu lebih mahal dari gaji kau seumur hidup Sobri” ujar pak tua
membela diri. Pelayan itu langsung bungkam. Tak ingin kena semprot kedua
kalinya.
Pak
tua langsung melangkah gusar keluar rumah, bergegas menaiki kapal mewahnya.
“kita
ke kantor polisi...Din”titah pak tua pada pengemudi kapalnya. Udin. Kapal mewah
milik pak tua melaju membelah pantai. Setibanya di kantor poilisi terdekat pak
tua berjalan gusar memasuki kantor polisi.
“selamat
pagi pak...ada yang bisa saya bantu?” ujar seorang polisi. Polisi itu mempersilahkan
pak tua duduk terlebih dahulu.
“begini
pak, semalam rumah saya kemalingan” tukas pak tua.
“jadi
apa saja yang dicuri maling itu” tanya polisi itu dengan tangan yang sudah
bersiap di atas keyboard.
“jaket
baru saya pak yang dicuri” tukas pak tua. Polisi dihadapannya terdiam. Bingung.
Pak
tua berjalan gontai. Sedih.ia teringat perkataan polisi tadi.
“sepertinya
kami tidak bisa membantu masalah bapak, mungkin jaket itu tidak dicuri mungkin
hanya bapak lupa meletakkannya dimana” tutur polisi itu.
***
Ternyata
kantor polisi tak memberikan titik terang padanya. Sepertinya tidak ada yang
bisa ia harapkan dan sepertinya ia harus menyelidiki sediri. Ia tiba dirumah
ketika malam mulai datang. Pak tua melangkahkan kakinya menuju pos ronda.
Pos
ronda malam itu cukup ramai oleh para pemuda pesisir pantai mereka tampak
sedang asik membicarakan sesuatu hal. Bising dari pos ronda lenyap seketika
karena pak tua yang mendadak menyeruak diantara mereka. Mereka semua saling
tatap begitu juga pak tua yang bingung dengan keadaan ini.
“kenapa
saya dateng jadi sepi?” tanya pak tua
“eee...memang
benar ya kalo jaket mahal pak tua hilang?” tanya salah seorang pemuda di pos
ronda. Ragu-ragu. Pak tua hanya diam.
Menatap bingung.
“pada
malam itu si Joni melihat sesuatu terbang diatas rumah pak tua, kayaknya itu
UFO deh pak” tutur pemuda itu, yakin.
“UFO?
Maksud kamu yang mencuri jaket saya si UFO?” tanya pak tua yang meniumbulkan
gelak tawa pemuda di pos ronda
“UFO
maksudnya piring terbang, kata orang ada makhluk luar angkasa didalamnya” tutur
Haekal menjelaskan.
“haah...yang
benar kamu?” tanya pak tua menggebu-gebu. Pemuda itu hanya mengangguk takut.
“mana
yang namanya Joni itu? Saya harus ketemu dia sekarang juga” desak pak tua pada
pemuda di pos ronda.
“sepertinya
Joni sedang dirumah pak, pak tua coba saja datang ke rumahnya. Rumahnya didekat
dermaga” jelas salah seorang pemuda.
“biar
saya temani pak tua”tawar Haekal yang langsung disetujui oleh pak tua.
***
“malam itu saya habis dari rumah
teman saya pak. Malam itu suasananya sepi dan angin berhembus kencang sekali.
Benar bahwa saya melewati rumah pak tua dan perihal saya melihat sesuatu
terbang itu juga benar tapi say gak berani buat menyimpulkan dan memberi tahu
pak tua” .
mereka teringat perkataan Joni.
Mereka
tengah mendiskusikan pernyataan Joni tadi.
“sepertinya
benar, Kal. Sepertinya jaket saya benar dibawa makhluk asing itu” celetuk pak
tua pada Haekal
“halah...kayaknya
dia salah liat deh pak. piring terbang itu nggak ada” sergah Haekal.
“tapi
Joni bilang bahwa ia benar-bener melihatnya. Saya siih percaya jaket saya
dibawa makhluk luar angkasa itu.” Tukas pak tua dengan yakin.
“ya
ampun pak tua makhluk luar angakasa itu gak ada, percaya sama saya.
Pengangguran juga saya tau berita dan saya juga gak bodoh-bodoh banget” tukas
Haekal membela diri.
Malam
itu angin pun berhembus dengan kencang. Membuat angin malam pesisir terasa amat
menusuk. Dua cangkirkopi panas yang
menemani mereka bukan lagi dua cangkir kopi panas. Uap panas itu telah menguap
entah kemana. Terbawa angin malam pesisir pantai.
Ditengah
senyap yang menyeruak diantara mereka. Angin berhembus dengan kencangnya untuk
yang kesekian kali. Membuat air pantai bergelombang, mengakibatkan kapal mewah
pak tua ikut bergerak. Tiba-tiba angin yang sangat kencang menerbangakan layar
kapal.
“ya
ampun pak tua layar kapalmu terbang terbawa angin pak tua” ujar Haekal dengan
nada panik
“biarkanlah
aku akan menyuruh udin untuk membelinya lagi, toh layarnya memang sudah usang”
ujar pak tua dengan tenang. Haekal hanya terdiam melihat reaksi pak tua lalu
memutuskan untuk kembali duduk.
“kau
tidak pulang Haekal? Lupakanlah masalah jaketku, aku akan membelinya lagi.
Lupakan saja masalh itu.”tukas pak tua dengan lesu. Yang diajak bicara hanya
terdiam. Tak mendengarkan.
“hoi
Haekal...kau tak mendengarkanku ya” ujar pak tua menyadarkan Haekal dari
lamunannya. Haekal terlonjak kaget.
“apa
yang kau pikirkan Haekal?”tanya pak tua
“jaket”
tukas Haekal.
“sudah
kubilang lupakanlah! Sungguh, tak apa” tukas pak tua berusaha tabah. Yang diak bicara
tetap diam. Tak merespon. Hinggal atsmosfer sunyi kembali terasa. Haekal tampak
tengah memikirkan sesuatu namaun pak tua menghiraukannya
“aku
tau pak tua. Aku tau” tukas Haekal bersemangat. Kali ini pak tua yang terlonjak
kaget.
“jaket
pak tua tidak dicuri, jaket pak tua tidak dibawa oleh makhluk luar angkasa itu.
Jaket pak tua terbawa angin kencang ini” tukas Haekal.
“hei
hei hei aku tak mengerti maksud kau. Mengapa jaketku bisa terbawa angin” tanya
pak tua
“malam
itu pak tua mencuci jaket lalu menjemurnya bukan?” tanya Haekal yang dibalas
anggukan oleh pak tua.
“dan
yang dilihat Joni malam itu bukanlah piring terbang melainkan jaket pak tua
yang melayang terbawa angin” tukas Haekal.
“maksudmu
apa? jelaskan secara rinci” titah pak tua. Haekal menghembuskan nafas gusar.
“jaketmu
hilang bukan karena rumahmu kemalingan, bukan juga karena ada makhluk luar
angkasa yang membawanya. Jeketmu hilang karena terbawa oleh angin kencang ini.
Joni mengatakan bahwa malam itu malam yang sunyi dan angin berhembus amat
kencang dan yang dilihat Joni malam itu tidak lain adalah jaketmu yang terbawa
oleh angin” tukas Haekal menjelaskan.
“bagaimana
mungkin? Semua penjelasanmu tidak masuk akal” tanya pak tua.
“jawabanya
adalah kau lupa untuk menjepit jaket yang kau jemur dengan jepitan baju.”
Celetuk Haekal membuat pak tua bungkam.
Malam
itu jawaban dari pertanyaan seputar jaket mahal pak tua terjawab sudah. Haekal
, pemuda pengangguran pesisir pantai
memecahkan segala pertanyaan yang terus
muncul dikepala pak tua.
***
Angin
pagi pesisir pantai berhembus lembut. Masih terlalu pagi untuk memulai
aktifitas. Pak tua sudah asik duduk di bibir pantai, asik menonton mentari yang
malu-malu menyeruak di ufuk timur. Pandangan pak tua menerawang jauh kearah
laut lepas. Sesekali menghembuskan nafas panjang. Pikirannya terlalu fokus
menerawang ke depan hingga tak menyadari seseorang sudah duduk disampingnya.
“hoi
pak tua, apa yang kau lakukan sepagi ini. Terduduk di pinggir pantai sendirian
macam anak muda yang kehilangan pujaan hati saja.” Sindir Haekal. Pak tua hanya
tertawa mendengar perkataan Haekal.
“entahlah....sepertinya
aku merindukan jaket ku” tukas pak tua dengan nada sedih.
“heeeh...sudahlah.
tadi malam kau yang menyuruhku melupakannya.” Tukas Haekal.
“lihatlah
sekarang penampilanku, diriku ini terlihat tidak gagah bukan?” tutur pak tua.
“hoi...meskipun
kau sudah tua kau tetap terlihat gagah. Percayalah.” Tukas Haekal. Pak tua
memang terlihat masih gagah saja. Usianya tampak membohongi jasmani pak tua, ia
termasuk pria paruh baya yang lumayan lincah.
“halah...kau
ini. Aku memang slalu gagah” tutur pak tua dengan percaya diri. Mereka tertawa
bersama mendengar tutur kata yang dikeluarkan pak tua.
Sunyi
kembali menyeruak diantara mereka, menyisakan riuh debur ombak yang menabrak karang
juga suara semilir angin yang tengah asik membelai daun yang menjuntai dengan
mememsona.
“hoi...menurutmu
jaketku sekarang singgah dimana?” tukas pak tua mengusir keheningan diantara
mereka.
“entahlah...”tutur
Haekal sekenanya.
“sudahlah
pak tua lebih baik sekarang kita cari makan, kau pasti belum sarapan bukan?
Cacing-cacing perutmu sudah meronta sejak tadi.’ Tukas Haekal membuat pak tua
menampilkan deretan giginya yang putih. Mereka berjalan meninggalkan bibir
pantai dan menghilang dikelokan ujung jalan.
***
Sinar
mentari mulai terasa membakar di kulit. Angin laut bertiup tenang. Gelombang di
laut membuat kapal Borno sedikit terombang-ambing. Pemuda itu tengah menarik
jaring yang ia terbarkan tadi malam. Tong-tong besar telah ia siapkan guna
menampung hasil tangkapannya. Ikan-ikan bergelepakan ketika Borno mengangkut
jaringnya. Tangan pemuda itu tampak
lincah memilih ikan yang terperangkap dalam jaringnya. Matanya memicing,
melihat sesuatu seperti kain terperangkap di jaringnya.
“apa
ini’ ujarnya sembari membentangkan jaket tersebut. Bingung.
“bukankah
ini jaket? Siapa yang sembarangan membuang jaket di laut. Membuat kotor saja”
tanyanya enytah pada siapa. Ia memasukan jaket tersebut pada kotak
barang-barangnya.
“tak
apalah. Mungkin itu rezeki dari yang diatas. Mungkin yang diatas iba melihatku
mencari ikan dimalam hari karena aku terkena angin malam.”ujarnya sembari
memasukkan ikan kedalam tong-tong besar.
mantep gileee
BalasHapus