Langsung ke konten utama

When Night Falls




Bandung, 18 Juni 2018

 Ketika semilir angin berhembus menyentuh kulitnya yang merasakan getaran melewati bulu-bulu halus yang terdapat pada tengkuk seorang gadis cantik bernama Nasya Amelia.

Ia berdiri dibawah derasnya jutaan air hujan yang jatuh dari langit yang tengah membasahi tubuhnya. Ia berlari-lari kecil sembari merentangkan kedua tangannya. Nasya sangat bahagia. Benar-benar bahagia.
Huft…
Ia menghembuskan nafas secara gusar lalu mengusap wajahnya yang terus terkena cipratan air hujan. Sesekali ia mengecek keberadaan Devano, takut jika laki-laki tersebut pergi meninggalkannya. Dugaannya ternyata salah. Devano ternyata sedang menatap lekat kedua mata Nasya dengan kedua mata hazelnya.

“Lo gak mau pulang sya?” Tanya pria tersebut dengan nada khawatir, serta raut wajah yang cemas.

“Nanti ya Dev. Sebentar aja.” Nasya memohon kepada Devano. Devano mengangguk sekilas tanda ia setuju dengan permintaan Nasya. Nasya pun tersenyum dan kembali berlari kesana kemari menikmati derasnya air hujan yang mengguyur sekujur tubuhnya

“Jangan lama-lama ya Sya.” Pekik Devano kepada Nasya yang sudah berada di ujung jalan.

25 menit telah berlalu. Tetapi, Nasya masih tetap saja menikmati derasnya air hujan yang turun dari langit. Devano yang merasa khawatir takut jika terjadi sesuatu pada Nasya, akhirnya memutuskan untuk menarik tangan Nasya memaksanya untuk pulang sekarang juga.

“Devano!! Lepasin tangan gue!” pekik Nasya langsung tepat pada telinga Devano yang menyebabkan pria tersebut meringis kesakitan dan langsung menghempaskan tangan Nasya dengan kasarnya.

“Tapi lo harus pulang Nasya! Kalo lo sakit gimana?!.” Seru Devano yang mulai terdengar emosi.

“Tapi lo gak tau gimana rasanya jadi gue yang hidup selalu penuh dengan tekanan!” ucapya begitu saja kepada Devano.

* * *
Bandung, 07 Februari 2015

Gadis itu sedang berdiri meratapi gundukan tanah yang diatasnya terdapat sebuah batu dengan nisan yang  bertuliskan nama almarhum orang tuanya. Ia hanya berdiri tanpa tau harus melakukan apa. Bagaikan mimpi baginya. Kehilangan kedua orang tua disaat tak ada satupun keluarga yang ia punya.

Ia mulai menekuk kedua lututnya, berjongkok dihadapan makam kedua orang tuanya. Air matanya jatuh begitu saja melewati pipi mulusnya melalui mata yang sekarang sudah terlihat sangat menyeramkan akibat adanya sebuah lingkaran hitam dibawahnya.

Dirasakannya sesuatu yang menyentuh bahunya dengan tujuan menghibur. “Nasya, jangan nangis lagi. Biarin mama sama papa pergi dengan tenang sayang. Mereka bahagia disana.” Ujar seorang wanita paruh baya yang kira-kira berusia lima puluh empat tahun kurang lebih. Tetapi tetap saja, ia terus menangis menitikkan air matanya sambil meratapi makam tersebut. Bingung dengan hidupnya yang akan jadi seperti apa setelah ini. Bingung bagaimana ia harus menghadapi semua cobaan ini. Dan bingung bagaimana dengan sekolah dan tempat tinggalnya nanti.

Nasya mendongakkan kepalanya dan mulai mengedarkan pandangannya kesekeliling kawasan TPU Kawah Putih yang kini telah terlihat sangat sepi dan sudah tidak ada seorang pun yang datang untuk memberinya semangat. Dirasakannya ada setitik dua titik air yang turun dari langit mengenai tubuhnya. Huh, hujan gumamnya dengan seringai kecil sambil merutuk dirinya sendiri.

“Bodoh. Ngapain lo terus-terusan sedih kayak gini. Gak guna banget. Apa untungnya lo nangis terus-terusan Nasya. Mama sama papa juga gak akan bisa hidup lagi. Wake up sya!” Ia terus menyemangati dirinya dengan kalimat-kalimat motivasi yang ia yakini dapat membuat dirinya terlihat lebih kuat. Bukan Nasya yang lemah.

Nasya berjalan menyusuri sepinya jalan raya Asia Afrika tanpa henti mengalihkan tatapan matanya dari langit yang terus menjatuhkan jutaan ribu titik air yang membuat tubuhnya kini telah basah kuyup. Ia mengusap wajahnya secara gusar sambil berdecak merutuki dirinya.

“Ya tuhan, sekarang gue harus kemana?” pikirannya terus melayang mengingatkannya pada memori indah dimana dirinya hidup bahagia dengan kedua orang tuanya.

Byurr

Tiba- tiba saja, sebuah mobil yang melaju dengan sangat kencang menyipratkan genangan air sehingga membasahi tubuhnya. Tanpa merasa bersalah, si pengemudi terus saja melajukan mobilnya tanpa mempedulikan bagaimana nasib orang yang baru saja ia buat basah kuyup akibat kencangnya laju mobil yang ia kemudikan.

Nasya meratapi dirinya disebuah kaca pada pintu pos jaga satpam yang ia lewati. Nasib-nasib pikirnya sambil mengeluarkan seringai kecil dari sudut bibirnya. Dilihatnya dari kejauan ada sebuah rumah dengan banyaknya anak-anak didalamnya. Nasya memicingkan matanya, dan menatap lekat-lekat tulisan yang tertera pada halaman depan rumah yang ia lihat. Disitu, ada sebuah papan nama yang bertuliskan “Panti Asuhan Bintang Harapan.”

Nasya mulai berfikir sejenak. Haruskah ia tinggal disebuah panti asuhan? Sepersekian detik kemudian, ia sudah mendapati jawaban atas pertanyaan yang tadi berputar di otaknya. Nasya mulai berjalan dengan langkah yang sedikit ia percepat hingga sampai disebuah rumah dengan gaya minimalis yang terdapat banyak anak-anak didalamnya.

Ia melangkah memasuki rumah tersebut. Dilihatnya seorang wanita paruh baya yang berusia sekitar 52 tahun sedang duduk beristirahat di kursi yang berada persis di sebelah pintu masuk.

“Permisi bu..” ucapnya kepada seorang wanita paruh baya tadi.

Merasa ada yang memanggil, wanita paruh baya tersebut mendongakan kepalanya mencari sumber suara dan mendapati Nasya yang tengah berdiri di depannya.

“Ya nak, apakah ada yang bisa saya bantu?” Tanya wanita tersebut kepada Nasya.

“Bolehkah saya tinggal disini bu?”

“Memangnya Ayah dan Ibu mu kemana nak?” wanita paruh baya itu kembali bertanya dan membuat Nasya diam mematung seketika. Bulu-bulu halus pada tengkuknya seakan berdiri mengidik, dan matanya yang terasa sebentar lagi akan memecahkan air mata  membanjiri wajah cantiknya.

Ia menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan perlahan. Mencoba untuk membuka suara menjawab pertanyaan yang tadi disampaikan oleh wanita paruh baya yang kini tengah berada di hadapannya.

“Mama sama papa saya udah tenang disana bu.” Jawabnya dengan suara tercekat menahan tangis agar tidak tumpah untuk yang kesekian kali.

Tiba-tiba saja, wanita paruh baya itu sedikit berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan tinggi badan Nasya, dan merengkuhnya serta menenggelamkan kepalanya kepada tubuh Nasya. Ia memeluk Nasya dengan sangat eratnya sambil berkata “Tetaplah jadi anak kuat sayang.” Ucapnya sambil mengelus perlahan ujung kepala Nasya. Tanpa sadar, meneteslah setetes dua tetes hingga jutaan tetes air mata turun membanjiri wajah dan pipinya kembali. Nasya menangis tersedu-sedu dipelukan wanita paruh baya itu yang terus merengkuh tubuhnya dengan dekapan yang hangat.

Seperkian detik kemudian, mereka melepaskan pelukannya. Wanita paruh baya itu pun tersenyum menatap lekat manik mata hazel milik Nasya sambil tersenyum dan berkata “Udah jangan nangis lagi. Nanti ibu bantu kamu cari orang tua baru ya.” Lalu mengusap pipi Nasya lembut sambil menghapus air matanya yang masih berjatuhan.

“Kenalin, nama saya bu Yeti. Nama kamu siapa?” tanyanya lembut

“Saya Nasya bu.”

“Nanti ikut ibu ke ruang administrasi ya. Kamu isi biodata sama ceritain apa yang ada dalam diri kamu.” Jelas bu Yeti pada Nasya yang dibalas anggukan tanda mengerti olehnya.

Bu Yeti pun mengantar Nasya menuju sebuah kamar dengan ukuran 65 x 30 m yang didalamnya berisikan empat orang anak. Yang pertama, ada seorang anak berambut pirang, pipi tirus nan merona, serta tubuh mungil yang bernama Adel. Yang kedua, seorang gadis dengan tinggi kira-kira 145 cm, mata orangenya yang indah, serta rambut gelombang yang tertata rapih yang bernama Beatrice. Dan yang terakhir adalah seorang anak perempun yang sedang duduk di pojok kasurnya sambil memegang sebuah novel berjudulkan Percy Jackson and The Olympic, serta rambut yang dipotong pendek menyerupai anak laki-laki. Mungkin, anak ini sepantaran dengan usia Nasya. Tubuhnya yang bisa dibilang cukup tinggi, dan ia bernama Brian Catalina.

“Hey semuanya, perhatikan kesini dulu sebentar. Ibu membawakan teman baru untuk kalian.” Beritahu bu Yeti kepada anak-anak yang berada dikamar itu.

Nasya mulai melangkahkan kakinya perlahan yang membawanya pada sebuah kamar. Nasya mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru ruangan.

“Nasya, mulai hari ini kamu akan tinggal dikamar ini bersama ketiga teman-teman. Dan untuk kalian bertiga, perlakukan Nasya seperti saudara kalian sendiri. Mengerti??!” jelas bu Yeti kepada seluruh anak yang berada didalam kamar saat ini.

“Iya bu.” Jawab mereka serempak lalu bu Yeti—ibu panti pergi meninggalkan mereka hanya ber-empat didalam kamar itu. Anak-anak pun mulai menghampiri dan mengajak Nasya berkenalan. Satu persatu menceritakan tentang kisah hidupnya dari mulai mereka ditinggal oleh orang tua, sampai hidup mereka saat ini. Tidak sedikit dari mereka yang sering dicela serta dicaci maki oleh teman-temannya disekolah akibat tidak memiliki orang tua dan terpaksa harus tinggal dipanti asuhan ini.

“Kalo kamu sendiri kenapa bisa ada disini?” Tanya salah satu dari mereka yang diketahui namanya adalah Beatrice.

Deg. Harus mengingat kejadian itu lagi? Kejadian dimana nyawa kedua orang tuanya direnggut paksa meninggalkan dirinya harus ia ingat kembali. Ia menahan dirinya sekuat mungkin dan menjaga ekspresi wajahnya agar tidak terlihat sedih. Ia bersiap diri untuk membuka suara. Adel dan Beatrice menunggu Nasya membuka suara. Tetapi tidak pada Brian yang masih saja sibuk berkutat pada sebuah novel yang berada genggamannya.

“Jadi waktu itu cuacanya lagi hujan dengan sangat derasnya. Disitu kita bertiga, aku, mama, dan papa sedang berada didalam mobil yang berada di ruas jalan tol cikarang kilometer 42. Kita lagi ketawa-ketawa, nyanyi-nyanyi pokoknya lagi bahagia banget karena abis pulang dari Jungle Land. Tanpa ada yang tau, tiba-tiba aja ada sebuah truk besar yang didalamnya terdapat banyak banget pasir menghantam mobil bagian belakang. Papa yang kondisinya gak siap akan hantaman itu, langsung membanting stir ke sembarang arah tanpa liat apa yang akan ia hantam. Mobil yang ku tumpangi terus saja berputar dengan kencangnya hingga akhirnya menghantam sebuah pembatas jalan yang membatasi jalan tol dengan sebuah hutan.”

Nasya menghentikan ceritanya dan menarik nafas dalam-dalam. Brian yang mulai tertarik dengan cerita Nasya pun, mulai ikut mendengarkan dan melepaskan novelnya serta turun dari kasurnya lalu berjalan mendekat kearah Nasya. Adel yang melihat tetesan air mata telah turun membanjiri mata Nasya pun, langsung memeluk Nasya dengan sangat eratnya. Beatrice yang menepuk-nepuk pundak nasya perlahan, serta Brian yang mengambil kedua telapak Nasya. Mereka satu persatu memberi kalimat motivasi yang diharap dapat membantu menyemangati Nasya.

“Aku yang posisinya ada dibelakang dan terpasang sebuah seatbelt yang merekat kencang pada tubuhku, kondisi ku ya gak pa-pa. Cuma, aku melihat dengan sangat jelas gimana kejadian itu. Papa yang kondisinya parah, serta wajah mama yang sudah hancur dengan penuh darah.” Lanjutnya dengan suara tercekat yang sudah mengeluarkan ribuan tetes air mata.

“Dan pas dibawa kerumah sakit, ternyata mama sama papa udah gak bernyawa. Aku sempet mikir kalo itu mimpi. Tapi diotak aku terus aja keulang reka adegan kejadian waktu di tol.” Adel semakin mempererat pelukannya, yang diikuti oleh Beatrice dan Brian.

“Udah sya, cukup seritanya sampe disini.” Sentak Brian sambil menghapus air mata pada pipi Nasya.

“Iya kak, gak usah nangis lagi. Doain aja semoga mereka bahagia di surga.” Ucap Adel sambil tersenyum dengan manisnya kepada Nasya yang membalas senyuman Adel.

“Bener tuh sya. Aku juga yakin kok, nanti kamu bakal dapet orang tua baru disini. Mereka juga, pasti bakal sayang sama kamu.” Lanjut Beatrice kepada Nasya.

“Makasih ya kalian semua.” Balas Nasya kepada ke tiga temannya dan langsung berpelukan dengan eratnya.

***

Nasya berjalan sambil menundukan kepalanya di sepanjang koridor sekolah menuju kelasnya yang berada di ujung koridor. Nasya sangat tau bahwa tidak sedikit pasang mata yang menatapnya dengan tatapan intens.

“Eh, anak yatim udah dateng.”

“Duh kesian banget ya dia.”

“Jangan deket-deket coy, nanti ketularan jadi sial.”

Begitu kata teman-temannya yang berada di sepanjang koridor sekolah dengan sangat keji dan tidak berperasaan ketika Nasya sedang berjalan menuju kelasnya. Ia menahan dirinya untuk tetap kuat dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak menghiraukan apa yang teman-temannya katakan.

Dengan langkah gontai, Nasya memasuki ruang kelasnya. Ketika itu, suasana kelas yang tadinya ramai dengan candaan dan gurauan, tiba-tiba saja jadi hening seperti ruangan tak berpenghuni. Semua teman yang berada didalam kelas, menatapnya lekat-lekat sampai ia duduk dan menenggelamkan wajahnya diatas meja, dan kelas pun kembali ramai dengan gurauan.

Jadi gini ya rasanya gak punya orangtua. Anak yatim dijadiin bahan gosip mereka. Mirirs banget. Pekik Nasya dalam hatinya yang sedang menjerit meminta bantuan kepada siapapun yang melihatnya.

“Assalamu’alaikum anak-anak.” Terdengar dari depan kelas suara guru yang hari ini mendapati jam ngajar dikelasnya. Ia sangat mengenali suara guru tersebut. Oh, bu Wati gumamnya dalam hati dan tetap menenggelamkan wajahnya diatas meja tanpa melihat guru yang sudah ada didalam kelasnya.

“Heh yang disana!.” Ucap bu Wati sambil menunjuk kearah Nasya.

Nasya mendongakkan kepalanya perlahan dan sangat hati-hati karena takut hal buruk akan menimpanya hari ini.

“Oh, jadi kamu ya si anak yatim. Udah gak punya orang tua, gak punya otak juga lagi. Udah miskin, mau makin miskin kamu?!!!!” bentak bu Wati kepada Nasya. Perih sekali hatinya ketika bu Wati menyebutnya anak yatim. Mengapa tidak punya orang tua selalu dipermasalahkan oleh orang-orang disekitarnya. Apakah seburuk itu? Pikirannya terus melayang pada pikiran-pikiran tersebut.

“Mau jadi apa kamu hah?!!! Jadi pemulung aja kamu sana dipinggir jalan. Beli makan aja belom tentu mampu, ini masih bisa sekolah malah gaya-gayaan. Saya tau ya kalo kamu kayak gitu karena mau dikasihanin. Jangan pikir saya gak tau dengan pemikiran anak macam kamu. Kalo butuh uang, minta aja sana sama komite sekolah buat diakasih dana.” Lanjut bu Wati dengan mengeluarkan seluruh kata-kata dengan sangat kejamnya tak berperasaan. Nasya memandang bu Wati dengan tatapan sangat tidak suka dan mengepal tangannya sekeras mungkin.

“Kenapa kamu liatin saya kayak gitu? Gak suka? Kalo gak suka ya bilang, gak usah liat-liat kayak gitu. Kamu pikir kamu cantik. Coba tuh tanya sama temen-temen yang cowok, emang cakep apa kayak begitu. Idih, amit-amit deh saya mah.” Ucapnya semakin kasar dan semakin tak berperasaan.

“Dari pada kamu buat saya makin eneg liat muka kamu, mending kamu keluar dari kelas saya. Dan buat temen-temen yang ada disini, jangan mau ya deket-deket sama dia. Nanti ketularan sial kayak dia.”

Tanpa berfikir panjang, Nasya langsung berlari keluar dari kelasnya serta membawa tasnya dengan air mata yang sudah bercucuran membanjiri wajahnya.

Ia memutuskan untuk kembali ke panti dan membolos sekolah hari ini. Karena statusnya yang sekarang tidak memiliki orang tua, ia harus dijadikan bahan ejekan. Bahkan banyak sekali yang menganggapnya sebagai virus menular.

Nasya menghempaskan tubuhnya dengan kencang keatas kasur dan langsung menangis dengan sangat kencangnya. Nafasnya menderu tak karuan. Ia mencengkram seprai kasurnya dengan keras dan memukul-mukul dadanya.

Kenapa sih hidup ini kejam banget. Kenapa???!!! Emang mereka pikir, gak punya orang tua kemauan gue!! Kalo disuruh milih, gue juga gak bakalan mau jadi anak yatim jeritnya dalam hati sambil terus mengeluarkan tangisnya berharap dapat menghilangkan kesedihannya.

Tiba-tiba saja, ditengah tangisnya ia mendengar suara pintu yang tengah dibuka dan langkah kaki seseorang memasuki kamarnya.

“Nasya, bisa ikut ibu sebentar? Ada yang mau ketemu sama kamu sayang.” Ucap bu Yeti dengan sangat lembut yang dibalas anggukan oleh Nasya.

“Ibu tunggu di ruang administrasi ya nak.” Katanya lalu pergi meninggalkan Nasya. Nasya pun turun dari ranjang tidurnya beranjak menuju kamar mandi untuk menghapus air matanya dan mengusap wajahnya dengan air, agar tidak terlihat habis menangis. Setelah itu Nasya pergi menuju ruang administrasi sesuai dengan yang bu Yeti perintahkan.

Nasya mengetuk sebuah pintu yang didepannya terdapat tulisan “Administration Room”. Setelah mendengar suara dari dalam yang memperbolehkan ia masuk, Nasya pun melangkahkan kakinya memasuki ruangan tersebut.

Didalam sana, terdapat sepasang suami dan istri yang tengah tersenyum manis kearahnya. Nasya melangkahkan kakinya, mendekatkan dirinya dengan sepasang suami istri itu atas permintaan dari bu Yeti.

“Nasya perkenalkan, ini ibu Charlina dan bapak Lucas. Tujuan mereka dating kesini untuk menjadikan kamu sebagai anak angkatnya. “ jelas bu Yeti kepada Nasya. Nasya yang mendengar hal itu, langsung shok dan tak menyangka bahwa akan secepat ini ia mendapat orang tua baru.

“Halo sayang….” Ucap wanita cantik itu yang usianya kira-kira menginjak angka 45 tahun.  Nasya tersenyum kepadanya. “Kamu mau kan ikut tante sama om kerumah kami?” lanjutnya kepada Nasya yang dibalas anggukan oleh nya. Terlihat jelas dari wajah pasangan suami istri tersebut bahwa mereka sangat bahagia karena Nasya setuju dengan ajakan mereka.

“Yaudah Nasya, sekarang kamu siap-siap gih sana.” Ucap bu Yeti kepada Nasya. Nasya menggangguk lalu pergi meninggalkan ruang administrasi menuju kamarnya untuk mengemas barang-barangnya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Gue bakal kangen sama tempat ini, pasti pikirnya dan langsung menuju lemari untuk mulai memasukkan baju-bajunya kedalam koper yang akan dibawa bersamanya.

Ia mengeluarkan post-it dari dalam tasmya dan mulai menuliskan beberapa kalimat perpisahan, kemudian menempelkannya pada kasur Adel, Beatrice, dan Brian.

Makasih ya kalian udah mau jadi saudara aku. Makasih juga karena kalian slalu bisa bikin Nasya hari-hari Nasya berwarna. Nasya bakal kangen banget sama kalian. Dan Nasya harap kalian gak bakal ngelupain Nasya. Dan semoga juga, nanti pas kita ketemu lagi, kita semua udah jadi orang sukses ya. Amin. Aku sayang kalian, I Love You.
- Nasya Amelia

Seteah itu, Nasya langsung keluar dari kamarnya menuju ruang administrasi dengan membawa satu koper ditangannya dan satu tas ransel di pundaknya. Ia menuruni satu per satu anak tangga yang mengantarkan hingga sampai didepan pintu ruang administrasi.

“Udah siap?” tanya Charlina pada Nasya dan dibalas anggukan olehnya.

Bu Yeti pun memeluk Nasya dengan erat sebagai salam perpisahan. “Jangan lupa sama ibu dan panti ini ya Sya.” Ucap bu Yeti sembari melepas dekapannya. “Iya bu, pasti.” Jawab Nasya dengan sangat tegas dan yakin.

“Yaudah yuk.” Ajak Charlina kepada Nasya. Nasya pun mengikuti langkah kaki kedua orang tua barunya menuju sebuah mobil Toyota Fortuner berwarna hitam yang terparkir di pekarangan panti asuhan. Nasya naik ke dalam mobil tersebut dan membuka jendelanya untuk melambaikan tangan pada bu Yeti, kemudian mobil Toyota Fortuner tersebut melaju meninggalkan pekarangan panti asuhan.

“Gimana perasaannya nak?” tanya Lucas kepada Nasya yang notabene nya adalah ayah angkatnya.

“Seneng om.” Jawab Nasya dengan kikuk akibat gugup dan malu.

“Jangan om dong manggilnya, papa aja biar lebih enak.” Balas Lucas yang diiringi oleh tawaan singkat.

“Iya tuh bener kata papa, manggilnya jangan om sama tante tapi mama sama papa. Terus gak  sungkan dan gugup. Kalo ada apa-apa ngomong jangan dipendem. Kita kan sekarang udah jadi keluarga.” Kalimat yang keluar dari mulut Charlina barusan membuat hati Nasya merasa nyaman dan tenang.

Dia juga berfikir akhirnya bisa jauh dari tempat yang mengingatkan dia pada semua kesedihannya. Dari seluruh teman-teman yang membuatnya menangis dan dari seorang guru yang tidak baik kepadanya.

Mobil Toyota Fortuner itu berhenti di sebuha bandaar udara yang bertuliskan “Bandar Udara International Husein Sastranegara.” Nasya turun dari mobil itu, dan berjalan mengikuti Charlina dan Lucas. Ia bingung mengapa sekarang ada di bandara. Memang mau kemana? Itu yang berputar dipikirannya. Nasya pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Charlina dana Lucas.

“Ma, pa, kita kok ada di bandara? Emang mau kemana?”

“Oh iya sayang, mama sama papa lupa ngasih tau kamu.” Ucap Charlina kepada Nasya tetapi belum menjawab pertanyaannya.

“Mama sama papa itu kerja di Hamburg, Jerman sayang. Kamu mau kan ikut ke jerman sama kita?” jawab Lucas kepada Nasya. Wajah Nasya langsung berubah menyerupai kepiting rebuh. Ia kaget dan sangat shok mendengar perkataan Lucas. Nasya hanya menganggung. Bagaimana ia akan menoak jika harus tinggal di jerman. Jelas tidak.

“Yaudah, kamu tunggu ya. Papa mau pesenin kamu tiket dulu. Passport kamu mana?”

Nasya mengeluarkan passport nya dari dalam tas ransel yang ia pakai di pundaknya lalu memberikannya kepada Lucas. Lucas dan Charlina pun langsung pergi meninggalkan Nasya di terminal building untuk memasan tiket.

Beberapa menit kemuadia, tiket sudah dipesan dan pesawat dengan tujuan Hamburg, Jerman itu pun telah siap untuk lepas landas.

Selamat tinggal Bandung, selamat tinggal Indonesia, selamat tinggal semuanya, selamat tinggal masa lalu, and I will miss you all desisnya dalam hati sambil melihat indahnya kota Bandung melalu jendela pesawat yang kini sedang terbang menuju rumah barunya Hamburg, Jerman.

***

Hamburg, Jerman, Winter, 11 Maret 2018 

“One, two, three, four, five, six, seven, eight.” Ucap seorang pelatih yang sedang memperhatikan gerakan kaki Nasya.

“Ya, cukup untuk latihan hari ini. Dan untuk kamu Nasya, jaga terus gerakan kamu sampai nanti tiba saatnya lomba. Paham?” seru Daniel—pelatih balet Nasya.

“Paham sir.” Ucap seluruh ballerina yang ada di dalam ruang latihan.

Nasya keluar dari ruang latihan menuju tempat ganti pakaian, setelah itu pulang ke rumahnya yang berada di Wallington Street.

 Sesampainya di rumah, ia langsung menuju kamarnya dan menghempaskan tubuhnya pada sebuah kasur berukuran kingsize. Ia membuka handphonenya, mencari aplikasi instagram dan didapatinya sebuah artikel yang bertuliskan ”Brian Catalina Atlet panah perwakilan dari Indonesia memenangkan medali emas pada Asean Games 2017”

Nasya memicingkan matanya memperbesar layar untuk memperjelas nama atlet panah tersebut. Diotaknya, nama atlet panah itu tidak asing bagi dirinya. “Astaga gue baru inget. Brian Catalina! Temen satu kamar gue dulu waktu di panti.” Serunya setelah mengingat siapa pemilik nama Brian.

Kemudian ia menuju ke kamar mandi untuk mengganti pakaian yang tadi ia gunakan karena basah akibat keringat yang bercucuran. Setelah selesai berganti pakaian, Nasy kembali merebahkan tubuhnya pada kasur lalu memeluk sebuah guling dan memejamkan matanya berharap akan dating sebuah mimpi indah.

***

Paris, Perancis, Winter, 17 Juni 2018

Nasya berada di sebuah gedung opera yang berada di tengah-tengah kota Paris. Ia memegangi dadanya gugup. Terus menarik nafasnya panjang dan mengeluarkannya dari mulut secara perlahan. Menunggu gilirannya dipanggil dan tampil didepan ribuan orang. Dalam rangka International Ballet Competition.

Gue harus menang! Harus! Banggain mama Charlina sama papa Lucas yang udah bayarin gue sekolah ballet. Banggain mama sama papa yang udah disurga. Dan bikin temen-temen gue dibandung sama Bu Wati malu karena dulu sempet jadiin gue sebagai orang paling sengsara, Amin… doanya dalam hati.

“And let's welcome Nasya Amelia with serial number 235. for Nasya Amelia, let's give a standing ovation” beritahu pembawa acara. Terdengar riuh tepuk tangan dari berbagai penjuru gedung opera. Nasya berjalan dengan gugup serta penuh keyakinan. Ia menari dengan gerakan yang sangat lentur. Berputar kesana kemari, meloncat tinggi, menggerakkan tangannya dengan sangat lentur.

Dua puluh menit ia menunjukan performance spectacular-nya. Seluruh penonton yang hadir bertepuk tangan takjub melihat penampilan yang ditunjukkan oleh Nasya.

Nasya menuruni panggung. Charlina dan Lucas langsung menghampiri Nasya dan memeluknya. “Kamu keren banget sayang. Mama sama papa bangga sama kamu.” Gumam Charlina kepada Nasya sambil mencium pipi kanannya. “Iya, kamu keren banget.” Lanjut Lucas.

Setelah menunggu 95 menit. Akhirnya pemenang pun akan diumumkan oleh MC tersebut. “And the winner is,….” Jeda juri tersebut yang membuat seluruh peserta dan penonton yang hadir.

“Nasya Amelia from Hamburg University of Ballerina. For Nasya Amelia give uplouse.” Seru MC tersebut dengan sangat meriah. Dan seluruh penonton yang hadir juga ikut bertepuk tangan. Hall 2 dari opera dipenuhi dengan riuh tepuk tangan seluruh penonton yang hadir.

Nasya menaiki panggung lalu menerima sebuah medali emas dan beberapa hadiah yang ia terima. Nasya tidak pecaya akan kemenangannya. Senyum dari wajahnya pun semakin lama semakin mengembang dan tidak pudar.

Setelah penerimaan hadiah telah selesai, ia turun dari panggung dan kembali ke backstage. Mengganti pakaiannya dan kembali kerumah bersama dengan Charlina dan Lucas.

“Ma, pa. Aku boleh ngomong Sesutu gak?” tanya Nasya dengan sedikit ragu.

“Boleh lah sayang. Masa gak boleh.” Jawab Charlina yang diikuti sedikit tawa gurauan.

“Aku punya permintaan. Tapi kalau gak boleh sih, gak apa juga.” Lanjut Nasya

“Kamu mau minta apa sya?” tanya Lucas kepada Nasya

“Aku pengen ke Bandung ma, pa. Udah lama gak ngunjungin mama Luna sama papa Arif. Aku kangen mereka. Boleh kan ma, pa?” ucap Nasya.

Charlina tertawa, lalu menoleh sekilas kea rah Lucas yang sedang mengemudikan sebuah mobil Mercedes Benz type 365 GLO. Charlina membalikkan tubuhnya menghadap Nasya yang duduk di kursi belakang.

“Nasya sayang. Kapan mau ke Indonesianya?” tanya Charlina sambil mengusap lembut ujung kepala Nasya.

Nasya hanya tersenyum sembari membungkukkan kepalanya menyembunyikan wajahnya yang sedang gugup. Ia hanya tersenyum menjawab pertannyaan Charlina.

“Mau papa pesenin tiket kapan sya?” ujar Lucas kepada Nasya yang dihadiahi senyuman lebar dari wajahnya tanda bahwa ia sangat bahagia karena di izinkan untuk berkunjung ke Bandung yang tidak lain tidak bukan adalah tempat asalnya.

“Besok boleh?” tanya Nasya dengan raut wajah ragu.

“Oke, kita berangkat besok.” Seru Charlina sembari memetik kedua jarinya, dan dihadiahi pelukan oleh Nasya.

“Makasih ma, pa. I love you so much.” Ucap Nasya langsung memeluk dan menciumi kedua orang tuanya dengan sangat bahagia.

Ia langsung membayangkan, manakah yang akan ia datangi terlebih dahulu ketika sampai di Bandung. Selalu saja, sejak hari itu, hidup Nasya selalu dipenuhi dengan kebahagiaan yang tak terhingga.

***

Bandung, 18 Juni 2018

Dilihatnya sekeliling Bandara International Husein Sastranegara dengan suasana yang sangat ramai. Ia mempercepat langkahnya karena tidak sabar ingin berkeliling kota Bandung. Bagaimana tidak, sudah hamper tiga tahun lamanya ia tidak mengunjungi kota kelahirannya ini. Tempat pertama yang ia tuju adalah TPU tempat kedua orang tuanya di makamkan. Tempat selanjutnya adalah panti asuhan dimana ia dirawat.

Drrrt drrrt

Terdengar suara handphonenya yang tidak ia silent membuatnya harus mengangkat telfonnya. Dilihatnya nama yang tertera dari layar handphonenya.

Mama is calling

Diangkatnya telfon tersebut. Nasya menempelkan layar ponsel kepada telinga lalu bersuara dan menjawab suara yang berasal dari sebrang sana.

Udah nyampe di Bandung sya?

Udah ma

Yaudah, hati-hati ya disana. Siapa yang jemput nanti?

Devano ma.

Oke deh, have fun ya sayang.

Iya ma, makasih.

Nasya me-lock ponselnya setelah panggilan dari Charlina selesai. Ia melihat sekeliling, menunggu seseorang yang akan menjemputnya dating. Devano Argya. Teman satu pantinya dulu yang sampai saat ini masih sering berkomunikasi bertukar kabar.

Di depannya, terhenti sebuah motor Suzuki Kawasaki berwarna merah yang dikemudikan oleh seorang laki-laki dengan perawakan kece. Laki-laki itu membuka kaca helm nya, lalu menyapa Nasya ramah.

”Nasya.” Panggil laki-laki tersebut kepada Nasya.

“Iya saya. Lo Devano?” tanya Nasya memastikan. Takut, kalau yang ada dihadapannya ini adalah orang Jahat.

“Iya. Ayo naik.” Ucap Devano membenarkan, lalu menyuruh Nasya menaiki jok belakang dan langsung melajukan motornya dengan kecepatan normal.

”Jadi ini yang namanya Nasya, peri ballerina yang cantik.” Ujar Devano berusaha memecah keheningan.

“Emangnya kenapa sama gue?”

“Semua orang disini itu, lagi booming ngomongin lo.” Jawab Devano memberitahu Nasya bahwa saat ini ia sedang popular di kalangan orang-orang sekitar. Tidak sedikit yang bilang, kalau Nasya adalah seorang anak muda yang berbakat. Diumurnya yang menginjak usia 18 tahun, ia sudah bisa menjadi seorang ballerina, bahkan telah memenangkan medali emas tingkat international.

“Ah bisa aja lo.” Seru Nasya sembari menepuk bahu Devano. Devano hanya membalasnya dengan tawaan ringan.

“Sekarang kita mau kemana?” Devano sedikit memperlambat laju motor yang ia kendarai menunggu jawaban dari Nasya.

“Ke panti dulu aja deh.” Ujar Nasya. Devano langsung membelokan sepeda motornya menuju jalan Asia Afrika tempat panti asuhan mereka dulu berada.

Tidak usah menunggu lama, hanya butuh waktu 20 menit saja hingga mereka sampai di pekarangan panti asuhan.

Ah tempat ini. Aku sangat rindu gumam Nasya dalam hatinya dan langsung melangkahkan kakinya menuju ruang utama panti tersebut yang disusul oleh Devano dibelakang nya.

“Permisi..” ucapnya ketika berada diambang pintu. Dilihatnya seorang wanita tua yang kira-kira usianya 55 tahun sedang menghampirinya.

“Iya, cari siapa ya mbak?” tanya wanita paruh baya tersebut kepada Nasya dan Devano. Mungkin wanita ini sedang berfikir kalau Nasya dan Devano akan mengasuh seorang anak. Terlihat jelas bahwa raut wajahnya, sangat terpancar kebingungan.

“Ibu Yeti kan?” Nasya memastikan kepada wanita paruh baya yang ada dihadapannya.

“Iya dengan saya sendiri. Kamu siapa ya?”

Nasya langsung memeluk Bu Yeti dengan sangat erat. Devano yang melihatnya hanya tersenyum. Diam-diam, Devano ternyata mengagumi senyum Nasya. Karena baginya, senyumana Nasya sangat menenangkan hatinya.

“Masa lupa sih bu sama kita berdua.” Nasya kembali bersuara ketika melepas dekapannya dari bu Yeti. Wajah bu Yeti semakin bingung.

“Ini Nasya sama Devano bu.” Bisik Nasya pada kedua telinga bu Yeti.

“Yaampun kalian udah besar aja. Cantik sama ganteng. Cocok banget. Kalian pacaran ya?” seru bu Yeti kepada Nasya dan Devano. Seketika pipi Nasya berubah menjadi merah layaknya seperti kepiting yang baru matang sehabis di rebus. Devano hanya tersenyum kikuk, lalu melirik sekilas wajah Nasya yang merah padam.

“Nggak bu, kita cuma temenan aja.” Devano menjawab pertanyaan dari bu Yeti yang dibalas dengan oh-an dari mulutnya.

“Yaudah yuk masuk.” Ajak bu Yeti kepada Nasya dan Devano lalu mengikuti langkah bu Yeti dari belakang.

Nasya mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru ruangan. Gak ada yang berubah, masih sama gumamnya tetapi terdengar oleh Devano. Setelah lama ia mengobrol dan berkeliling menebus rindu, Nasya dan Devano pun pamit pergi meninggalkan panti asuhan untuk melanjutkan perjalanan mereka.

TPU Kawah Putih, tujuan mereka selanjutnya. Nasya berjalan dengan langkah cepatnya yang diikuti oleh Devano dibelakangnya. Setia sekali Devano hingga rela mengikuti kemana Nasya akan pergi hari ini.

“Hai ma, pa..” sapa Nasya ketika sudah sampai ditempat orang tuanya di kebumikan.

“Gimana rasanya ada disana? Mama sama papa bahagia terus kan ya?” Ucap Nasya melanjutkan perkataannya yang tadi belum ia ucapkan sepenuhnya. Ia menahan diri agar tangsisnya tidak tumpah. Devano yang peka akan keadaan Nasya yang sebentar lagi akan menangis, langsung berjalan mendekat memposisikan dirinya di sebelah Nasya. Devano menarik tubuh Nasya pada dekapannya, lalu merangkul tubuh mungil Nasya.

“Mama sama papa gak usah khawatir sama Nasya. Disini banyak yang sayang sama Nasya. Ada mama Charlina, Papa Lucas. Devano juga kok ma.” Nasya menghentikan kalimatnya sejanak lalu mengambil nafasnya sedikit sebelum melanjutkan kembali kalimatnya yang belum selesai ia ucapkan.

“Ini dia ma, pa Devano. Dia yang sekarang yang selalu ada buat Nasya 24 jam. Devano juga kok ma, pa yang selalu buat Nasya ngerasa kalo di dunia ini Nasya gak sendirian.” Lanjut Nasya sambil tersenyum kearah Devano. Mendengar hal tersenyum, Devano langsung mengembangkan senyumannya tanda bahagia.

“Iya om, tante. Devano bakal berusaha untuk selalu ngejaga buah hati kalian. Karna Devano sayang sama Nasya om, tante. Devano juga mau minta izin sama kalian buat selalu ada disaat duka maupun dukanya Nasya.” Ujar Devano.

“Yaudah ya ma, pa Nasya mau pergi dulu. Nanti Nasya bakal kesini lagi kok. Jangan kangen ya, I love you.” Nasya memeluk batu nisan yang terletak diatas gundukan tanah, makan kedua orang tua Nasya.

Ia berdiri lalu mulai melangkahkan kakinya menuju tempat dimana Devano memarkirkan motornya. Setelah sampai, Nasya dan Devano pun pergi meninggalkan TPU Kawah Putih menuju Sekolah Nasya dulu.

Motor yang Devano lajukan pun, telah sampai didepan sebuah gerbang besar bertuliskan SMAN 15 Sugihmukti. Nasya turun dari atas jok motor Devano lalu berjalan menuju ruang guru dengan membawa 15 kantong bingkisan yang berisikan makanan khas jerman yang ia bawa dari rumahnya yang berada di Hamburg. Devano berjalan menyamakan langkahnya dengan Nasya yang terus mempercepat langkahnya.

Sesampainya didepan ruang guru, Nasya mengetuk pintu dengan kepalan tangannya dan membuka pintunya lalu berjalan memasuki ruang guru ketika mendengar suara dari dalam yang memperkenankan ia masuk. Nasya berjalan mencari meja tempat bu Mila—guru favoritenya duduk. Setelah menemukannya, Nasya menghampiri meja tersebut.

“Assalamu’alaikum bu.” Tegur Nasya lalu mencium punggung tangan bu Mila dengan sangat sopan dan lembut.

“Maaf, kamu siapa ya? Ibu lupa.” Bu Mila tersenyum sambil tertawa memperlihatkan sederat gigi putihnya.

“Saya Nasya bu. Nasya Amelia.” Nasya menunggu respon dari bu Mila yang sedang berusaha mengingat namanya. Ketika sudah mengingat akan dirinya, bu Mila langsung memeluknya dengan perasaan rindu serta bangga akan dirinya yang dulu pernah menjadi muridnya.

“Ya ampun Nasya. Kamu sudah besar ya nak. Cantik sekali sekarang. Ibu Cuma bisa liat kamu dari tv. Sekarang, malah ketemu langsung.” Seru bu Mila dengan sangat antusias.

“Bu, pak, ini loh anak murid kita dulu. Nasya Amelia, si peri ballerina yang sangat cantik dan berbakat.” Beritahu nya kepada seluruh guru yang berada di dalam ruang guru. Satu persatu, guru-guru dating menghampiri lalu memeluk Nasya. Nasya menyalami guru-gurunya dulu sambil bercerita tentang pengalamannya menjadi ballerina.

Tiba-tiba saja terdengar suara decitan pintu yang hendak terbuka. Semua yang berada di dalam ruangan menolehkan kepala melihat siapa orang yang akan masuk kedalam ruang guru. Dan dilihatlah oleh mata kepala Nasya seorang guru yang dulu selalu mencaci makinya dengan sebutan anak yatim yang bodoh dan miskin, ibu Wati.

Nasya menghampiri bu Wati lalu menyalaminya dengan penuh hormat sembari tersenyum dengan memperlihatkan wajah bangganya.

“Siapa ya?” tanya bu Wati heran karna tiba-tiba saja seseorang yang ia tidak kenal menyalaminya.

“Nasya bu, kelas IX IPA 3.” Desis Nasya kepada bu Wati yang dihadiahi wajah tercengang serta tatapan mata intens kepada Nasya.

Bu Wati yang bingung dan tidak tau harus berkata apa hanya diam ditempat. Nasya yang mengerti akan situasi tersebuh, langsung membawa tubuh bu Wati pada dekapan tubuhnya.

“Oh iya bu, ini saya bawain sedikit oleh-oleh buat ibu. Ini ada makanan khas jerman.” Nasya memberikan sebuah bingkisan kepada bu Wati. Terlihat jelas dari wajahnya, bahwa bu Wati sedang menahan rasa malu dan sungkannya ketika menerima bingkisan dari Nasya.

“Kamu abis Jerman ya?” tanya Pak Rama—guru olahraganya dulu kepada Nasya.

“Iya pak. Saya kan sekarang tinggal di Jerman.” Jelas Nasya kepada Pak Rama yang dihadiahi oh-an dari mulutnya.

“Yaudah ya pak, bu saya pamit dulu. Permisi.” Pamit Nasya kepada seluruh guru yang berada didalam ruang ber-AC dengan ukuran 115 x 100 itu.

Nasya keluar dari ruangan tersebut dengan senyuman yang mengembang dari kedua sudut bibirnya. Devano yang menunggu di luar ruangan menghampiri Nasya.

“Gimana?” Devano memastikan kepada Nasya bahwa misi nya sukses. Nasya membalasnya dengan mengacungkan jari jempolnya ke udara. Devano yang melihatnya tersenyum lega, lalu mengambil telapak tangan Nasya lalu menggenggamnya.

Devano kembali melajukan sepeda motornya. Ia punya niatan untuk mengajak Nasya ke suatu tempat.

“Kita mau kemana dav?” tanya Nasya dengan nada suara bingung.

“Liat aja nanti.” Jawab Devano dengan seringai kecil dari sudut bibirnya.
***

Behentilah sebuah motor Ninja Kawasaki berwarna merah yang Devano lajukanpun di sebuah taman yang sangat indah. Nasya terlihat takjub akan pemandangan yang ada dihadapannya. Nasya tersenyum bahagia. Devano yang melihat senyum dari bibir Nasya pun, juga ikut tersenyum dengan sangat bahagia. Baginya, kebahagiaan Nasya adalah bagian dari kebahagiaannya pula.

Nasya meloncat-loncat kesana kemari sembari menghentak-hentakan kakinya. Ia bersenandung ria menelusuri penjuru taman dengan berbagai macam bunga yang indah. Devano mengikuti langkah Nasya dibelakangnya. Lelaki tersebut hanya bisa tersenyum melihat wanita pujaannya terlihat sangat bahagia.

Ditengah serunya mereka bermain-main di sekeliling taman, tiba-tiba saja air hujan turun dengan derasnya membasahi tubuh mereka.
Ketika semilir angin berhembus menyentuh kulitnya yang merasakan getaran melewati bulu-bulu halus yang terdapat pada tengkuk Nasya.
Ia berdiri dibawah derasnya jutaan air hujan yang jatuh dari langit yang tengah membasahi tubuhnya. Ia berlari-lari kecil sembari merentangkan kedua tangannya. Nasya sangat bahagia. Benar-benar bahagia.
Huft…
Ia menghembuskan nafas secara gusar lalu mengusap wajahnya yang terus terkena cipratan air hujan. Sesekali ia mengecek keberadaan Devano, takut jika laki-laki tersebut pergi meninggalkannya. Dugaannya ternyata salah. Devano ternyata sedang menatap lekat kedua mata Nasya dengan kedua mata hazelnya.
“Lo gak mau pulang sya?” Tanya pria tersebut dengan nada khawatir, serta raut wajah yang cemas.

“Nanti ya Dev. Sebentar aja.” Nasya memohon kepada Devano. Devano mengangguk sekilas tanda ia setuju dengan permintaan Nasya. Nasya pun tersenyum dan kembali berlari kesana kemari menikmati derasnya air hujan yang mengguyur sekujur tubuhnya

“Jangan lama-lama ya Sya.” Pekik Devano kepada Nasya yang sudah berada di ujung jalan.

25 menit telah berlalu. Tetapi, Nasya masih tetap saja menikmati derasnya air hujan yang turun dari langit. Devano yang merasa khawatir takut jika terjadi sesuatu pada Nasya, akhirnya memutuskan untuk menarik tangan Nasya memaksanya untuk pulang sekarang juga.

“Devano!! Lepasin tangan gue!” pekik Nasya langsung tepat pada telinga Devano yang menyebabkan pria tersebut meringis kesakitan dan langsung menghempaskan tangan Nasya dengan kasarnya.

“Tapi lo harus pulang Nasya! Kalo lo sakit gimana?!.” Seru Devano yang mulai terdengar emosi.

“Tapi lo gak tau gimana rasanya jadi gue yang hidup selalu penuh dengan tekanan!” ucapya begitu saja kepada Devano.

Devano mendekati Nasya, lalu kembali meraih punggung tangan Nasya dengan lembut. “Nasya, gue cuma khawatir sama kesehatan lo sya. Kalo lo sakit gimana.” Jelas Devano memandang mata hazel Nasya secara intens.

Mendengar penjelasan dari Devano, Nasya langsung mengembangkan senyumannya selebar mungkin. Ia langsung memeluk tubuh Devano dengan sangat eratnya.

“Makasih ya Devano karna lo udah khawatir sama gue, karna lo udah perhatian sama gue.” Kata Nasya yang semakin memper-erat pelukannya.

Sepersekian detik kemudian, Nasya melepaskan pelukannya dan kembali membuka suara. “Lo tau gak. Baru kali ini gue bahagiaaa banget.” Pekik Nasya sambil tersenyum dan berputar-putar sambil merentangkan tangannya. “Dan gue, mohon sama lo tolong kasih gue waktu buat meninkmati hari ini dengan semaksimal mungkin.” Lanjutnya kepada Devano yang semakin melekatkan pandangan matanya dengan sangat intens.

Devano melangkahkan tubuhnya mendekat kearah Nasya dan tiba-tiba memeluknya. Ia mengusap ujung kepada Nasya dengan sangat lembut. “Makasih juga ya sya, karna lo udah jadiin hari ini sebagai hari yang paling indah bagi gue.” Ujarnya kepada Nasya.

“Lo mau kan ikut gue ke Jerman?” tanya Nasya kepada Devano. Devano pun mengangguk mantap menjawab pertanyaan Nasya. Dengan sangat bahagia Nasya pun membalas pelukan Devano dengan sangat kencang dibawah derasnya jutaan ribu air hujan yang turun.

Dan hari ini, hujan telah menjadi saksi kedua insan ini bahwa dibalik kesedihan akan datang sebuah kebahagiaan yang tersembunyi didalamnya. Nasya dan Devano pun berdoa, semoga kebahagiaan yang mereka rasakan hari ini dapat bertahan hingga seribu tahun lamanya, bahkan sampai ajal yang akan memisahkan mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Besok LDKS Guys

Hallo semuanyaa! Kali ini gue akan berbagi pengalaman yang cukup menarik untuk kalian semua tentang betapa hebohnya persiapan LDKS. Nah, buat yang belum tau apa itu LDKS gue bakal ngejelasin secara singkat apa itu LDKS. Jadi, LDKS adalah Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa, kegiatan yang biasanya diadakan disekolah untuk melatih mental dan kedisiplinan siswa. Yap, pada tanggal 1,2, dan 3 November 2018 sekolah gue SMAN 68 Jakarta siap mengadakan LDKS untuk siswa/i kelas 10. Berbagai macam persiapan telah kita lakukan. Dari membuat name tag, persiapan membawa perlengkapan kelompok dan lainnya. Jadi, doakann kami ya semoga LDKS esok hari dapat berjalan dengan lancar tanpa ada halangan sedikit pun.

Tanah Longsor di Tangerang Selatan, 5 Rumah Hancur

T angerang Selatan  - Sebanyak 5 rumah di Kampung Koceang, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan, hancur. Rumah tersebut runtuh akibat pergerakan tanah di tebing dekat permukiman warga. "Ada 5 rumah yang ambles. Kejadiannya tadi malam sekitar pukul 20.00 WIB," kata Rusli, petugas Satpol PP yang berjaga di lokasi, Rabu (10/5/2017). Rusli mengatakan, sejak pagi, tanah di lokasi itu sudah ambles. Ketika itu belum ada yang roboh hingga ke dalam jurang. Karena kondisi tanah itu, penghuni rumah langsung mengamankan diri dan harta benda mereka. Bencana yang terjadi tadi malam pun tak menelan korban jiwa. "Korban alhamdulillah tidak ada. Pas kejadian rumah sudah dikosongkan," ucapnya. Berdasarkan pantauan  detikcom  di lokasi, sejumlah petugas dari Satpol PP, BPBD, dan polisi terlihat berjaga. Garis polisi pun dipasang untuk membatasi akses warga mendekati lokasi ambles. Sejumlah warga juga terlihat berkumpul di sekitar lokasi. Mereka ingin m